Sekuel dari “My Strory”
Enjoy…^^
DUK! DUK!
Aku mendengar suara bola basket yang dilemparkan dari dalam aula olahraga.
“Masih ada yang berlatih jam segini?” tanyaku dalam hati. Aku memberanikan diri untuk melihat. Haha, sebenarnya aku tidak takut pada apapun.
Ternyata seorang bocah yang sedang mencoba melakukan dunk. Haha, bodoh. Padahal dia laki-laki, tapi terlihat sangat tidak berdaya.
“Bukan begitu caranya.” Ujarku. Dia menoleh, kaget bercampur malu tergambar di wajahnya.
“Tapi begini!” aku segera merebut bola darinya dan melakukan teknik itu. Dia ternganga ketika aku mendarat dan bertepuk tangan pelan saking terpesonanya. Aku merapikan seragamku yang agak berantakan gara-gara melompat tadi dan berjalan pergi.
“TUNGGU!” teriaknya. Aku berbalik pelan.
“Si…siapa namamu?” lanjutnya.
“Jung Hami.” Jawabku datar dan kembali meninggalkannya.
“A..aku Lee Hyukjae! Sampai bertemu besok di sekolah ya…!!!” teriaknya. Aku bisa melihatnya melambaikan tangan penuh semangat dari ekor mataku.
“Anak yang lucu.”
*
Aku sedang tidur nyenyak ketika badanku diguncang-guncang Min young.
“Hami-ah.. ada yang mencarimu dari kelas sebelah. Bangunlah..” aku membuka mataku pelan. Hh, siapa sih yang menganggu waktu tidurku? Tidak dapat dimaafkan!
“Mana?”
“Itu. Dia menunggu di pintu.” Aku menyipitkan mataku agar penglihatanku lebih jelas. Ternyata anak yang kemarin. Siapa namanya? Aku lupa.
Aku bangun dan segera menghampirinya.
“Ada apa?” tanyaku langsung, aku memang paling tidak suka berbasa-basi.
“Ehm, aku… aku ingin minta bantuanmu..” ucapnya gugup.
“Bantuan?”
“I..iya… a.. ajari aku main basket!” ujarnya. Dia menangkupkan kedua tangannya dihadapan wajahku.
“Boleh saja, tapi ini tidak gratis.” Jawabku asal. Tapi sepertinya dia menganggapku serius. Karena dia terus menerus mengucapkan terimakasih. Dan akhirnya kami berjanji bertemu di di gerbang sekolah nanti sore.
“Siapa dia?” Tanya Min young.
“Siapa?”
“Cowok tadi…”
“Ah, aku tidak tahu.” Jawabku cuek. Aku lalu bersiap lagi untuk kembali tidur. Waktu istirahat masih ada 10 menit lagi, cukup bagiku untuk tidur.
“Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana ya..?” ucap Min young lagi. Tapi aku tidak peduli karena mataku mulai menutup.
*
Aku berjalan santai menuju gerbang, sesampainya di apartemen aku ingin segera berbaring. Hh, hari ini rasanya lelah sekali. Aku menguap lebar ketika ada seseorang menghalangi jalanku.
“Hami ssi, aku sudah menunggumu.” Ucap lelaki itu. Aish, aku sama sekali lupa dengannya.
“Ah, kau..” ucapku, Nampak sekali tidak tertarik dengan kehadirannya.
“Hari ini kita jadi latihan kan?” tanyanya bersemangat. Aku melihat sinar-sinar dimatanya. Dan mau tak mau akupun mengangguk. Aku sudah terlanjur berjanji.
“Kita latihan dimana?” tanyaku. Dia menyeringai lebar, terlihat sangat bersinar.
“Tempat rahasiaku!” ucapnya bersemangat. Dia berjalan lebih dulu, membawaku ke sebuah lapangan basket yang tidak jauh dari sekolah kami. Lapangan itu telah sepi. Lelaki itu mengeluarkan bola basketnya dan menyerahkan padaku.
“Ayo lakukan dunk sekali lagi! Aku ingin melihatmua terbang!” pintanya. Aku tersenyum sekilas, benar-benar lucu melihat dia begitu bersemangat melihat teknikku. Jadi aku melakukannya, lagi dan lagi. Dan dia selalu bertepuk tangan gembira. Haha, dia mengingatkanku pada adikku yang telah meninggal 2 tahun lalu.
Kami bermain sampai larut. Agak sulit untuk mengajarinya. Tapi dia pantang menyerah. Padahal berkali-kali jatuh, tapi dia bangkit dan mencoba lagi. Aku salut pada kegigihannya ini. Kami akhirnya memutuskan untuk beristirahat sebentar di sisi lapangan. Dia memberiku selembar handuk kecil dan sebotol air mineral, persiapannya untuk ini pantas diberi acungan jempol.
“Kenapa kau bersemangat sekali untuk menguasainya?” tanyaku. Dia mengelap mulutnya.
“Karena aku tidak ingin kalah dari saudara kembarku.”
“Kembaranmu? Kau memiliki kembaran?” dia mengangguk cepat. Matanya masih bersinar, persis seperti adikku.
“Kau pasti mengenalnya. Dia Lee Donghae.” Jawabnya.
“Mwo? Tidak mungkin!”
“Kenapa tidak mungkin? Dia benar-benar kembaranku.” Ucapnya lagi. Aku memperhatikannya dengan seksama. Yah, memang ada beberapa kemiripan diantara mereka. Tapi aku masih sangsi jika mereka kembar.
“Kalian benar-benar berbeda.” Aku kembali minum. Tapi lama sekali dia menjawab. Aku meliriknya, kepalanya tertunduk lesu. Aigo, kenapa lagi bocah ini?
“Itu yang selalu mereka bilang.” Ucapnya lirih. Haish, apa dia menangis? Apa yang harus kulakukan? Aku melihat ke sekeliling. Untung saja di seberang sana ada minimarket. Aku segera berlari untuk membeli sesuatu. Aku berhenti dihadapan sebuah kulkas besar yang berisi berbagai macam minuman. Dan aku mengambil satu susu stroberi, minuman kesukaan adikku. Semoga diapun menyukainya.
Setelah selesai membayar aku segera kembali menuju lapangan. Dia masih tertunduk lesu. Aku menghampirinya dan memberikan susu yang kubeli itu. Dia mendongak, pelan tapi pasti dia tersenyum.
“Bagaimana kau tahu ini minuman kesukaanku?” tanyanya, manis sekali. Aku mengacak rambutnya. Sepertinya dia memang adik yang dikirimkan Tuhan untuk kujaga.
*
Nama adik baruku itu Lee Hyukjae. Dia satu-satunya teman dekatku, setelah Min young. Min young sendiri heran karena aku bisa menerimanya. Tapi dia benar-benar mirip adikku. Biarpun dia seusiaku, dia masih sangat polos. Kau bisa lihat itu dari matanya yang jernih. Berbeda sekali dengan saudara kembarnya yang terkenal playboy.
Sore itu, aku melihatnya di tampar untuk kesekian kalinya. Aku baru saja kembali dari toilet saat drama itu terjadi.
“Hyukie, sudah berapa banyak korban dari saudaramu itu?” tanyaku. Aku melihat kotak yang tadi dilemparkan gadis itu. Wuah, banyak sekali barang yang Donghae berikan padanya.
“Molla…” jawabnya sambil mengelus pipinya. Pipinya benar-benar merah sekarang.
“Mau sampai kapan kau terus dimanfaatkan cewek-cewek itu?” tanyaku lagi. Aku kembali ingat ceritanya mengenai pacar-pacar Donghae yang akan mencarinya ketika mereka marah pada Donghae. Entah apa yang Donghae lakukan, tapi saat gadis-gadis itu marah, dia pasti akan berubah menjadi kasat mata. Tidak dapat dilihat oleh siapapun.
“Aku sudah biasa.” Jawabnya lemah. Aku hanya menghela nafas. Dia memang sepert anak kecil. Dasar bodoh!
“Yasudah, ayo pulang!” ajakku. Hyukie membawa kotak itu dan membuangnya di tong sampah. Biasanya dia akan mampir di apartemenku sebentar, baru pulang.
Aku tinggal sendirian di Seoul. Orang tuaku masih bertahan di Busan. Setelah kematian adikku, aku tidak tahan untuk tetap bertahan di rumah. Sehingga aku memutuskan untuk pindah ke Seoul sendirian.
Aku membuka kunci pintu begitu sampai di apartemen. Melepaskan sepatu dan menggantinya dengan slipper. Hyukie mengikutiku, dia mengenakan slipper berwarna biru yang kusiapkan khusus untuknya. Dia segera duduk dan bersandar di sofa. Aku berjalan ke dapur dan membuka kulkas lalu mengambil susu stroberi dari sana.
“Ini, kompres dulu pipimu agar tidak membengkak.”
“Gomawo..” ucapnya sambil menyeringai lebar. Tapi aku tidak pernah menunjukan reaksi yang berlebihan padanya.
Aku duduk disampingnya dan menghidupkan tv, acara yang diputar tidak ada yang menarik.
“Hami-ah, itu foto siapa?” Tanya Hyukie. Dia menunjuk fotoku bersama adikku saat kami liburan ke pantai beberapa bulan sebelum dia meninggal. Itu liburan terakhir kami bersama. Dalam foto itu kami terlihat sangat gembira. Dengan senyuman lebar di wajah kami berdua, dan aku memeluknya erat. Tuhan, aku rindu padanya.
“Dia adikku.” Jawabku. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak menjatuhkan air mataku dihadapannya.
“Kau terlihat cantik tersenyum seperti itu. Lalu, dimana adikmu sekarang.” Pertanyaan itu. Pertanyaan yang selalu kuhindari. Rasanya masih terasa sakit saat mengingatnya.
“Dia meninggal, 2 tahun yang lalu.” Jawabku tanpa memandangnya.
“Ah, aku minta maaf.” Ucap Hyukie tulus. Dia lalu melirik jam.
“Aku harus pulang sekarang. Terimakasih susunya.” Ucapnya. Dia menaruh susu stroberi itu di meja dan beranjak pergi.
Setelah dia pergi, aku mengambil kotak susu itu dan menempelkannya di pipi.
“Hangat.” Tanpa bisa kucegah, air mataku kembali mengalir.
*
Hubunganku dan Hyukie bisa dibilang sangat aneh. Dia bilang, aku adalah sahabatnya, tapi dia sama sekali tidak pernah bisa benar-benar terbuka kepadaku. Aku harus mencari tahu sendiri masalah apa yang sedang menimpanya. Dan begitu juga sebaliknya. Biasanya jika kami memang benar-benar tidak puny aide tentang masalah yang sedang dihadapi, kami akan saling menghibur. Untuknya, ini bukan sesuatu yang luar biasa. Dengan melihat wajahnya saja akan membuatku sangat tertawa. Ok, aku memang tidak pernah tertawa lepas dihadapannya. Tapi mukanya memang sangat lucu! Sementara aku, hanya bisa membelikannya susu stroberi atau makanan manis, maka dia akan kembali tersenyum.
Karena itulah aku benar-benar terkejut saat dia bercerita padaku dia telah memiliki yeoja chingu.
“Wah, selamat ya! Akhirnya kau bisa punya pacar juga!” ucapku.
“Hehehe..” dia hanya menyeringai lebar seperti biasa. Memperlihatkan gigi dan gusinya.
“Dasar kau!” aku mengacak-acak rambutnya. Dia selalu senang kuperlakukan seperti itu. Jadi dia tertawa lebih keras lagi.
“Oppa…” tiba-tiba kami mendengar seseorang memanggil. Aku menoleh kea rah pintu aula olahraga, seorang gadis manis berambut lurus terurai berdiri dengan gugup disana. Aku melirik Hyukie, wajahnya tersipu-sipu. Itu pasti pacarnya.
“Tuh, pacarmu manggil. Aku duluan.” Ucapku. Segera membereskan dan pergi secepat yang kubisa.
Aku baru saja berjalan beberapa langkah dari aula ketika aku mengingat jaket kesayanganku tertinggal. Jadi aku kembali kesana. Tapi pemandangan yang kulihat membuat dadaku terasa perih. Aku melihat Hyukie mencium gadis itu.
Aku segera berbalik dan berlari pulang. Tidak kupedulikan lagi jaket itu. Aku juga tidak peduli kakiku yang meronta hebat saat kupaksa berlari menuju apartemen. Setibanya, aku segera berlari menuju kamar, menguncinya dan menangis. Dadaku naik turun. Aku tidak mengerti mengapa aku bisa seperti ini. Tapi rasanya jelas sangat sakit.
Aku mendengar ketukan di pintu depan. Aku segera menghapus air mataku. Malas-malasan aku membukakan pintu. Ternyata Hyukie.
“Hami, kau melupakan jaketmu! Ini jaket kesayanganmu kan?” tanyanya. Aku mengangangguk seraya mengambil jaket itu.
Hyukie mengernyit.
“Kau sakit?” tanyanya,
“Wae?”
“Matamu bengkak.”
“Tidak. Aku hanya sedang tidur ketika kau dating. Sudah sana pulang! Aku ingin melanjutkan tidurku.” Hyukie hanya mengangkat bahunya dan menurut.
“Sampai besok…” ucapnya sebelum pergi. Aku menutup pintu dan kembali menangis.
*
“Aku pikir Hyukie pacarmu. Tapi ternyata sekarang dia jalan dengan gadis lain.” Ucap Min young. Gossip segera beredar dengan cepat.
“Apa kau tidak cemburu?” tanyanya. Tapi aku enggan menjawab dan memilih untuk tidur.
Min young sudah terbiasa dengan sikapku yang seperti ini, sehingga dia membiarkanku. Karena percuma saja, seberapa keraspun dia bertanya, aku tidak akan menjawabnya.
Hubungan Hyukie dan gadisnya berjalan baik-baik saja. Sesekali dia masih datang dan latihan basket bersamaku. Tapi kami tidak pernah bisa mengobrol panjang lebar seperti dulu, karena gadisnya akan dating dan aku tidak suka berlama-lama dekat dengannya.
Sebenarnya Hyukie selalu mengajakku saat mereka akan pergi bersama. Dia selalu bilang saudara kembarnya akan ikut, sehingga aku tidak akan merasa kesepian. Tapi aku selalu berbohong dengan bilang hari itu orang tuaku akan datang, atau aku ikut kelas tambahan, atau pergi bersama Min young, atau apapun. Sehingga aku tidak usah pergi dengannya. Dia terlihat kecewa, kalian tahu, dia tidak berubah, masih saja polos seperti anak kecil.
Waktu berjalan sangat cepat. Tidak terasa sebentar lagi aku akan menjadi murid kelas 2. Hubunganku dengan Hyukie masih baik-baik saja. Maksudku, kami masih berteman baik meski aku selalu berusaha menghindar darinya. Tapi dia selalu percaya padaku. Dasar bodoh!
Entah mengapa perasaanku malam itu sangat kacau. Padahal tidak ada yang terjadi. Aku memutuskan untuk pergi jalan-jalan keluar sebentar. Dan entah mengapa kakiku menuju lapangan basket tempat pertama kalinya aku mengajari Hyukie dunk. Dan aku melihatnya disana, sedang berusaha, dengan sekuat tenaga memasukan bola ke dalam ring. Tapi tidak pernah berhasil.
Aku berjalan menuju minimarket dan membelikannya sekotak susu. Aku tahu, dia sedang ditimpa masalah. Aku tidak pernah melihatnya semarah ini. Dan aku berharap susu ini dapat membuatnya lebih tenang.
Dia sedang duduk di tepi lapangan ketika aku dating. Nafasnya masih memburu. Entah karena marah atau karena bermain terlalu keras tadi.
“Kau tidak akan bisa memasukan bolanya dengan kekuatan seperti itu.” Ucapku. Dia mendongak.
“Kau?” tanyanya.
“Wae? Siapa yang kau harapkan?” dia mengambil kotak susu dari tanganku dan meminumnya perlahan.
“Bagaimana kau tahu aku ada disini?” tanyanya lagi.
“Mmh, sepertinya dulu ada seseorang yang mengajakku bermain disini.” Jawabku cuek.
“Ah, mianhae.. aku lupa.” Ucapnya sambil terkekeh. Syukurlah.
“Tadinya aku khawatir kau tidak bisa tertawa lagi. Tapi sepertinya kau baik-baik saja.” Ucapku kemudian. Aku bangkit berdiri dan hamper saja berjalan pergi ketika dia menarik tanganku dan memintaku untuk duduk kembali. Aku menurut.
“Ada apa?” tanyaku.
Dia mulai bercerita tentang gadis itu. Bagaimana dia bisa menyukainya, bagaimana kisah mereka, bagaimana gadis itu menghindarinya belakangan ini, dan hari inilah puncaknya. Gadis itu tidak tahan lagi dengan perasaannya. Dia merasa telah mengkhianati Hyukie dan merasa bukan gadis yang baik baginya. Hyukie merasa terpukul, sangat terpukul, karena gadis itu berpaling pada Donghae.
Dia merasa sangat bodoh, terkhianati, dan hancur. Dia sudah mencurahkan perasaannya pada gadis itu. Dan entah bagaimana caranya, Donghae mencuri hal itu darinya. Aku ikut hancur melihatnya seperti ini. Bahkan terasa lebih sakit saat melihatnya mencium gadis itu. Setidaknya saat itu akku masih bisa melihatnya tertawa lebar. Tapi tidak kali ini.
Kepalanya kembali tertunduk. Dia menangis. Untuk hal seperti ini sepertinya susu stroberi tidak bisa membantu banyak. Aku mengelus punggungnya perlahan, namun tidak keluar sepatah katapun dari bibirku. Aku terlalu hancur untuk dapat menghiburnya. Aku segera memeluknya dari belakang.
“Menangislah Hyukie, jika memang itu yang kau inginkan.” Ucapku akhirnya. Dia berbalik memelukku dan menangis sangat keras. Lebih keras dari biasanya.
*
Hyukie menangis lama sekali, ketika air matanya sudah kering, malam telah larut. Matanya yang sudah sipit, semakin terlihat sipit karena sembap.
“Gomawo…” ucapnya. Aku hanya tersenyum.
“Ayo kita pulang.” Ajakku. Tapi dia menggeleng.
“Aku tidak mau bertemu dia.” Ucapnya. Dia kembali cemberut. Hampir kembali menangis.
“Hyukie-ah…” bujukku. Dia kembali menggeleng, merajuk.
“Aku akan selalu bersamamu.” Ucapku mantap dan menggenggam tangannya.
“Ayo.” Bujukku. Dia akhirnya mau menurut.
Aku mengantarnya sampai depan rumah. Aku memastikannya pulang dengan selamat. Sepanjang jalan aku terus menggenggam tangannya, memberinya kekuatan. Kadang-kadang dia berhenti tapi aku terus berjalan. Dia harus bisa menghadapi ini semua.
“Hami-ah, aku benar-benar tidak ingin masuk.” Ucapnya.
“Buktikan jika kau lelaki hebat!” ucapku. Aku mendorongnya masuk dan terus berada disana sampai setengah jam kemudian. Aku mendengar sedikit keributan dari dalam rumah tapi setidaknya Hyukie tidak pergi keluar. Sepertinya tugasku sudah selesai malam ini. Jadi aku merapatkan jaketku dan berjalan pulang.
Esoknya aku menghampiri Hyukie di kelasnya dan mengajaknya makan siang bersama. Aku membelikannya susu stroberi, permen loli, dan es krim agar dapat melihatnya bercahaya kembali. Tapi usahaku tidak berjalan semudah itu. Selama berminggu-minggu dia hanya tertunduk lesu. Tidak bersemangat. Dan menghindari latihan basket.
Hal yang sama terjadi pada gadis itu dan saudara kembarnya. Malah beberapa kali aku melihat dia menangis sendiri. Tapi setelahnya Donghae akan datang dan menenangkannya. Masalah ini cukup rumit.
*
“Kau masih memusuhi saudaramu itu?” tanyaku. Hari itu seharian dia berada di apartemenku. Kami main seharian.
“Iya, sofa masih menjadi tempat tidurku.” Jawabnya. Aku tahu dia hanya berpura-pura terlihat tegar.
“Kau tidak pantas menjadi sahabatku jika bersikap pengecut seperti itu.” Dia terdiam. Tidak melanjutkan permainan.
“Hami-ah…” rajuknya.
“Hyukie, dengarkan aku. Mestinya kau bersikap lebih dewasa.” Lagi-lagi dia menundukan kepalanya. Mencoba menghindari tatapanku.
“Ternyata kau benar-benar pengecut.” Lanjutku santai seraya menyeruput sodaku.
“Aku…”
“Kau pasti bisa memaafkan mereka.”
Sepertinya kata-kataku cukup ampuh. Hari ini aku sudah dapat melihat kembali sinar di matanya. Dan hari ini dia kembali datang latihan
“Yah, aku senang kau bisa kembali tertawa seperti ini.” Ucapku di pinggir lapangan.
“Dan sepertinya kau tidak pernah ditampar lagi.” Ucapku seraya tertawa. Dia menggaruk belakang kepalanya sambil tersipu.
“Yah, kupikir Donghae sudah insyaf sekarang. Dia benar-benar setia pada Hyujin.” Jawabnya.
“Jinca? Bagus sekali!”
“Yah, begitulah. Jika sudah bertemu yang pas. Kau tidak akan melepasnya.” Ucapnya. Aku lalu meminum air mineralku.
“Hami-ah, terima kasih telah menjagaku selama ini.” Aku mengernyit.
“Mwo? Tumben sekali kau berterimakasih padaku.”
“Mulai sekarang, biarkan aku yang menjagamu sekarang.” Hei, ada apa dengannya?
Aku menjitak kepalanya. Dia mengaduh pelan.
“Yah! Jangan bercanda! Bagaimana bisa tanganmu yang kurus itu menjagaku?” ucapku. Aku kembali meminum air mineralku. Berbicara dengannya menghabiskan energiku.
“Tentu saja bisa, karena aku laki-laki.” Dia mengambil botol minumanku dan mendekatkan wajahnya padaku. Sebelum aku sempat berbicara lagi dia segera menempelkan bibirnya pada bibirku.
Dia melumatnya lembut. Ini bukan Hyukie yang kukenal. Aku berusaha untuk melepaskan diri darinya.
“Apa maksudmu?” semburku. Dia tidak menjawab, hanya mentapku lembut.
“Sarangheyo…” bisiknya. Dan aku menamparnya sangat keras.
“Kau pikir aku siapa?!”
“Mianhae, Hami-ah…”
“Aku tidak ingin jadi pelampiasanmu!” aku segera memberekan tasku dan melangkah pergi. Sialan! Itu ciuman pertamaku!
“Hami-ah, aku minta maaf atas ciuman tadi. Tapi kenapa kau semarah ini?” tanyanya. Aku menghentikan langkahku dan berbalik menghadapnya. Aku melemparkan handukku kesal.
“Ya! Apa kau tidak tahu sudah berapa lama aku menyukaimu?! Apa kau tidak tahu bagaimana sakitnya aku saat kau bercerita soal Hyujin?! Apa kau tidak tahu hatiku lebih sakit lagi saat melihatmu hancur gara-gara gadis itu?!” ucapku marah.
Semua yang telah kutahan selama ini akhirnya keluar juga. Aku menunduk, mencoba menyembunyikan air mataku.
“Dan sekarang kau menciumku hanya karena Hyujin sudah bersama Donghae…” isakku.
Dia berjalan mendekat dan memelukku.
“Menangislah jika itu yang kau mau.” Ucapnya.
“Kau benar Hami-ah. Aku memang bodoh.”
*
Setelah kejadian itu otomatis aku menghindar darinya. Aku selalu meminta Mi young bilang padanya bahwa aku tidak ada ketika dia mencariku. Aku tidak pernah membukakan pintu untuknya ketika dia datang. aku bahkan tidak mengangkat teleponnya.
Aku selalu bersembunyi darinya. Aku pun tidak datang ke klub. Duniaku menjadi sempit setiap hari. Aku tidak mengerti pada perasaanku sendiri. Aku hanya perlu sedikit waktu untuk berpikir.
“Dia sakit.” Ucap Donghae tiba-tiba saat aku makan siang di kantin. Aku meletakan sendokku.
“Siapa?”
“Hyukie. Sakit. Itu semua karenamu.” Ucapnya lalu beranjak pergi.
Aku tidak bisa melanjutkan makan siangku. Tiba-tiba saja aku merasakan sesak dalam dadaku. Ada apa?
Rasa sesak itu tidak berhenti juga sampai aku tiba di apartemen. Aku membilas seluruh badanku lalu menatap wajahku di cermin. Aku tersenyum, ternyata aku cukup manis jika rambutku digerai seperti ini. Aku lalu mengambil jepit rambut biru muda yang kubeli kemarin. Cocok.
Aku mengenakan rok dan t-shirt, lalu melapisnya dengan jaket kesayanganku. Aku lalu mengambil tas dan tidak lupa menyelipkankan sekotak susu stroberi kesukaannya.
Ibunya menyuruhku agar masuk saja langsung ke dalam kamarnya. Dia sedang berbaring saat aku datang.
“Donghae-ah, tolong tutup pintunya. Aku ingin tidur..” pintanya. Rupanya ia mengira Donghae yang datang.
Aku lalu meraba keningnya, demamnya cukup tinggi. Tiba-tiba dia berbalik dan membuka matanya.
“Hami?”
“Memangnya siapa yang kau harapkan?” jawabku ketus. Aku segera menarik tanganku. Dia menatapku heran.
“Darimana saja kau selama ini?” tanyanya.
“Aku? Tentu saja aku ada.”
“Aku tidak pernah bisa menemukanmu.” Ucapnya.
“Itu karena kau tidak serius mencariku.”
“Tentu saja aku serius!” ujarnya tidak mau kalah.
“Setiap hari aku mencarimu di kelasm ke perpustakaan, kantin, bahkan sampai atap. Tapi kau tidak ada. Bahkan kau pun tidak datang ke klub! Apa kau tidak tahu ba…” dia sangat cerewet, kututup saja mulutnya dengan bibirku.
“Sudah selesai?” tanyaku tepat dihadapannya. Mukanya bersemu merah. Dia masih saja polos.
“Itu balasan untuk waktu itu.” Lanjutku. Aku lalu menarik tubuhku dan beranjak pergi. Aku lalu mengeluarkan susu stroberi dan meletakannya diatas meja.
“Lekas sembuh.” Ucapku. Tapi sebelum aku sempat mencapai pintu, dia menarikku ke dalam pelukannya. Dia mendekatkan wajahnya padaku. Entahlah, tapi aku menutup mataku. Aku pasrah pada apa yang akan dia lakukan padaku. Tapi dia malah menjitak kepalaku.
“Itu balasan karena membuatku sakit.” Ucapnya sambil menyeringai lebar.
“Awas kau!” aku segera mencubitinya.
“Ya! Ya! Aku masih sakit!” pintanya memohon. Tapi aku tidak berbelas kasihan padanya kali ini.
“Ara, ara…” ucapnya. Dia berhasil menggenggam tanganku, bagaimanapun aku mencoba melepasnya cengkramannya lebih kuat.
“Jadi apa kau mau menjadi pacarku sekarang?” tanyanya lagi.
“Siapa yang bilang?” dia terlihat gelisah. Aku jadi ingin semakin menggodanya.
“Siapa yang bilang aku tidak mau?” lanjutku. Dia tersenyum lebar. Dan memelukku erat. Ketika aku berharap ada adegan romantis lagi, dia malah pingsan. Demamnya sangat tinggi. Dasar bodoh!
*
Kami menghadapi masa sulit bersama. Dia selalu setia mendampingiku. Tidak pernah sekalipun berpaling. Bahkan ketika aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jepang. Dia lelaki hebat! Aku beruntung mendapatkannya.
Malam ini dia datang ke apartemenku. Dia bilang, dia akan memasak khusus untukku. Jadi kubiarkan saja dia mengobrak-abrik dapurku, sementara aku berkutat dengan pekerjaan yang masih menumpuk.
Dia memanggilku ketika makanan telah siap. Kulihat meja telah dia tata sedemikian rupa, lilin bertebaran dimana-mana. Sejak kapan si bodoh ini menjadi sangat romantis?
Dan saat itulah dia mengungkapkan keinginannya padaku. Dengan gugup dan terbata-bata dia memintaku untuk selalu berada di sisinya dalam suka maupun duka. Dan aku menyanggupinya. Dia memelukku erat.
“Dan jangan panggil aku bodoh lagi.” Bisiknya. Aku tersenyum. Adik yang Tuhan kirim padaku untuk selalu kujaga, kini akan terus menjagaku. Terimakasih Tuhan. Aku berjanji akan menjaganya dengan baik. Aku berjanji…